Cerita Seks Terbaru | Tumbal Sex
Sapto adalah seorang buruh pekerja bangunan lepas. Pria muda kelahiran sebuah dusun terpencil di Jawa Tengah ini terpaksa mengadu nasib ke Jakarta karena di daerah asalnya pun ia menganggur tak punya pekerjaan. Kekeringan yang berkepanjangan melanda kampung halamannya. Sawah-sawah tidak produktif lagi. Banyak petani yang kehilangan pekerjaannya, termasuk Sapto.
Di usianya yang kedelapan belas saat masih di kampungnya, ia telah menikahi seorang wanita cantik bernama Maya. Wanita yang usianya selisih dua tahun lebih muda ini adalah tetangganya sendiri di kampung. Sama seperti Sapto, Maya pun berasal dari keluarga yang sangat sederhana.
Walaupun kehidupan yang menanti di Jakarta belum menentu, Sapto nekat mengajak istrinya untuk pergi ke kota harapan itu saat usia pernikahan mereka masih seumur jagung. Ia malu terus-menerus membebani kedua orang tuanya maupun mertuanya yang sama-sama kekurangan.
Pria ini beruntung mendapatkan pekerjaan pada seorang kontraktor kecil-kecilan di daerah pinggiran ibukota. Sapto mengenal majikannya dari sesama temannya di kampung yang kebetulan pernah bekerja pada beliau. Dengan kemampuan seadanya, ia belajar menjadi kuli bangunan. Pekerjaannya pun tak tentu, bergantung pada order yang diterima majikannya.
Dengan penghasilan yang seadanya, tentu saja kehidupan Sapto dan Maya di kota yang keras itu masih tetap prihatin.
Kesulitan ekonomi semakin terasa setelah Maya melahirkan anaknya yang pertama, tepat dua tahun setelah kepindahan mereka ke Jakarta. Sapto pun semakin pontang-panting menghidupi keluarganya yang telah bertambah anggotanya.
Sapto sebenarnya beruntung memiliki istri seperti Maya. Wanita itu sangat sabar dan mau sepenuhnya mengerti kesusahan yang mereka alami bersama. Ia tak pernah mengeluh dan menuntut macam-macam. Walau ia pun tak mampu berbuat banyak untuk membantu suaminya, tak hentinya ia memotivasi suaminya untuk bersabar dan tidak tergoda menempuh jalan yang tidak benar dalam mengatasi kemiskinan mereka.
Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Keadaan ternyata berkembang jadi semakin sulit setelah majikan tempat Sapto bekerja bangkrut. Otomatis Sapto pun kehilangan satu-satunya mata pencahariannya. Dengan kemampuan yang terbatas, jelas ia mengalami kesulitan untuk mendapatkan mata pencaharian yang baru.
Dalam keadaan putus asa, Sapto mengambil jalan pintas. Suatu hari ia nongkrong dengan sesama temannya yang juga menganggur. Saat ngobrol, temannya menceritakan tentang pesugihan yang diyakini dapat memberikan pelakunya kekayaan yang melimpah ruah. Dari sekedar iseng, Sapto jadi mulai tertarik dengan cerita itu. Diajaknya temannya untuk sama-sama menjalani pesugihan tersebut.
Walaupun tertarik juga, temannya menolak untuk melakukannya. Ia takut karena syaratnya sangat berat. Begitu pula konsekuensi yang harus ditanggung jika syaratnya tak terpenuhi. Belum lagi mengingat cara itu adalah jalan yang dikutuk oleh agama.
Sapto yang telah buntu pikirannya tetap berkeras untuk mencobanya. Temannya yang telah mencoba mengingatkannya tak mampu berbuat apa-apa. Setelah dipaksa Sapto, temannya lalu menceritakan bagaimana cara melakukan pesugihan itu, yang disebut pesugihan Ki Edan.
Pesugihan itu harus dilakukan dengan memuja jin bernama Ki Edan. Tempatnya adalah di sebuah gua terpencil di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Barat.
Dengan alasan mencari pekerjaan, Sapto pamit kepada istrinya untuk pergi ke luar kota selama beberapa hari. Dititipkannya anak dan istrinya kepada tetangganya.
Dengan berdebar-debar Sapto menemui juru kunci tempat itu untuk minta petunjuk dan bimbingan dalam menjalaninya. Sebelum melakukan itu, sama seperti yang telah dilakukan oleh temannya, si juru kunci mengingatkan Sapto akan semua konsekuensi yang harus diterimanya. Pria tua itu mengatakan bahwa Sapto masih dapat mundur saat itu seandainya ia masih ragu-ragu. Merasa kepalang tanggung, Sapto tetap menyanggupinya. Ia pun menjalani ritual yang disiapkan oleh si juru kunci untuk melakukan perjanjian dengan Ki Edan.
Ki Edan adalah sejenis jin tingkat tinggi yang memiliki kesaktian mandraguna. Usianya telah mencapai ribuan tahun. Berbagai macam manusia dari puluhan generasi sudah pernah ditemuinya. Ia hidup di tengah hutan Lawang bersama para pengikutnya. Pengikutnya berasal dari berbagai golongan jin dan hewan liar yang hidup di hutan itu. Ia tak akan membantu sembarang orang. Syarat yang ditetapkannya pun berat.
Saat melakukan ritual di dalam gua, Sapto pun berkesempatan untuk bertatap muka dengan jin itu.
Badan Ki Edan berwujud manusia tapi bagian paha ke bawah menyerupai kaki belakang seekor lembu. Tubuhnya yang jangkung tampak tegap didukung oleh badannya yang kekar dan berwarna gelap kemerahan. Wajahnya berbentuk segitiga dengan ujung dagu yang sangat lancip. Kedua matanya tajam dan berwarna merah. Sepasang tanduk besar menyerupai tanduk kerbau jantan menghiasi kepalanya yang gundul.
Sapto bergidik melihat penampakan jin tua yang mengerikan itu.
“Hai manusia, ceritakan apa yang kau mau,” suara jin tua itu terdengar menggema di dalam gua.
“A..a.. ku ingin mendapatkan kekayaan, Ki,” kata Sapto terbata-bata.
Mata Ki Edan yang tajam menatap dalam-dalam pada Sapto yang agak merinding.
“Kau tahu apa syaratnya?” tanya jin itu.
“Apa itu, Ki?” tanya Sapto gemetar. “Aku akan menyanggupinya…”
“Setiap purnama kau harus mempersembahkan mayat bayi yang baru saja dikuburkan…”
Sapto terdiam.
“Jika kau lalai…. Bukan hanya kekayaanmu yang akan kutarik kembali….” lanjut Ki Edan.
Sapto menanti lanjutan kata-kata jin tua itu dengan harap-harap cemas.
“…Melainkan juga orang yang sangat kausayangi akan kuambil….” Ki Edan menutup penjelasannya yang singkat.
“Baiklah, Ki…” jawab Sapto yang sudah gelap matanya menyanggupi.
Setelah perjanjian diikat, Sapto pun kembali ke Jakarta.
Aneh, tak lama kemudian Sapto pun mendapatkan rezeki. Ada orang yang menawarinya modal untuk membuka usaha. Sapto pun membuka warung dan bengkel. Usahanya ternyata maju sehingga dalam waktu singkat Sapto dapat mengembalikan modalnya dan memiliki sendiri seluruh usahanya. Kehidupan ekonomi mereka pun semakin membaik. Tentu saja Sapto tak pernah menceritakan peristiwa yang sebenarnya kepada Maya.
Sementara itu, setiap menjelang bulan purnama, Sapto memiliki kebiasaan baru. Ia akan mendatangi kuburan dan menggali makam bayi yang baru saja dikuburkan. Jasad bayi yang masih baru itu lalu dipersembahkannya kepada Ki Edan sebagai tumbal.
Bulan demi bulan pun berlalu. Semakin lama Sapto pun semakin merasa sulit untuk memenuhi janjinya. Bukan saja ia harus mencari mayat bayi ke daerah yang semakin jauh, penduduk pun mulai resah dan curiga dengan maraknya penggalian kuburan bayi yang baru meninggal. Akibatnya, Keamanan pun semakin diperketat. Ruang gerak Sapto pun semakin terbatas.
Sampai suatu ketika, Sapto akhirnya gagal memenuhi janjinya pada Ki Edan tepat pada malam bulan purnama yang ketujuh sejak perjanjiannya.
Saat itu sudah lewat tengah malam. Sapto merasa sangat gelisah karena tahu akan terjadi sesuatu. Maya yang saat itu sedang di sampingnya juga merasa curiga melihat gelagat suaminya yang dari tadi tampak menyembunyikan sesuatu. Wanita itu baru saja selesai menyusui anaknya yang sempat terbangun beberapa waktu yang lalu.
Tanpa ada tanda apa pun, Ki Edan tiba-tiba muncul diikuti oleh para pengikutnya. Walau sudah menduga hal itu, Sapto tetap saja merasa terkejut. Ia tak tahu harus mengatakan apa pada istrinya. Maya yang tak mengetahui pokok permasalahannya tentu saja tak kalah terkejutnya.
“Sapto, kau tahu apa yang telah kau lalaikan malam ini?” suara Ki Edan terdengar menggema di tengah malam yang hening.
Sapto hanya diam dengan tubuh gemetar dan tegang.
“Kalau kau tak mampu memenuhi janjimu dalam pesugihan ini, aku sudah mengatakannya dengan jelas apa yang harus kau bayar…”
“Aku akan mengambil nyawa anakmu sebagai tumbal…” kata jin tua itu mengingatkan.
“Atau akan mengambil istrimu untuk menjadi budakku di alam gaib sana… sebagai ganti atas semua kekayaan yang telah kuberikan padamu…”
Maya yang terkejut mendapati kenyataan itu tentu saja tak merelakan nyawa anak semata wayangnya diambil oleh Ki Edan.
“Mas Sapto…. Benarkah…?” tanya Maya seperti tak percaya sambil memandang ke arah suaminya. “Teganya kau… Jadi selama ini….?”
Ia tak mampu melanjutkan kata-katanya.
Sapto hanya menunduk. Ia tak berani membalas pandangan istrinya. Tubuhnya terasa gemetar.
“Baiklah, sekarang aku akan mengambil anakmu…” kata Ki Edan sambil melangkah mendekati ranjang tempat anak Sapto dan Maya sedang tidur.
Maya sangat terkejut mendapati kenyataan anaknya akan diambil secara paksa. Dihalanginya jin tua yang besar itu dalam langkahnya menuju ranjang. Naluri keibuannya untuk melindungi anaknya serta merta muncul.
“Aku tak rela nyawa anakku hilang demi melunasi hutangmu…” tegas wanita itu sambil memandang suaminya.
“Biar aku saja yang ikut dia untuk menebusnya…”
Sejenak setelah mengucapkan kata-kata itu, Maya sempat terkejut. Bagaimana bisa ia membuat keputusan seperti itu? Keputusan yang spontan dikeluarkannya untuk melindungi jiwa putri satu-satunya. Dalam hati ia sebetulnya sangat khawatir akan nasibnya jika mengikuti setan itu. Bagaimanapun, saat itu ia tak melihat cara lain sebagai jalan keluarnya.
“Baiklah, tak masalah bagiku,” kata Ki Edan sambil memeluk bahu Maya yang ada di dekatnya.
“Anakmu atau istrimu, salah satu saja…. Sudah cukup bagiku…” kata Ki Edan.
Sapto tak mampu berkata apa-apa. Mulutnya serasa terkunci.
Ki Edan lalu melucuti seluruh pakaian Maya. Maya sama sekali tak menolak… Maya tak tahu mengapa ia tak melawan saat direndahkan seperti itu…. Apakah ia berada di bawah pengaruh hipnotis?
Sapto hanya bisa memandangi peristiwa itu tanpa daya sama sekali. Begitu istrinya telah bugil, ia melihat Ki Edan mengeluarkan seuntai rantai yang besar lalu mengalungkannya ke leher wanita cantik itu…
Siluman sakti itu kemudian menyerahkan rantai itu kepada seekor kera jantan besar yang setia mengikutinya. Entah dari mana datangnya, segumpal asap yang tebal tiba-tiba muncul memenuhi ruangan. Ki Edan pun berjalan menembus asap itu. Diikuti oleh si kera besar yang menuntun istrinya… menghilang ditelan kegelapan….
Sapto hanya bisa memandang seluruh kejadian itu sambil menangis… Kedua kakinya benar-benar kaku tak bisa digerakkan. Sekujur badannya gemetar menahan perasaan takut, geram, dan tak berdaya yang bercampur aduk. Beban yang demikian beratnya membuatnya terjatuh. Perlahan-lahan asap pun menghilang tanpa bekas. Sama seperti istrinya yang raib dibawa Ki Edan… Pandangannya pun menjadi gelap. Ia pun pingsan tak sadarkan diri.
Maya memulai kehidupan barunya di alam jin. Setelah melalui asap tebal yang mengantarkannya meninggalkan alam manusia, sampailah ia di kediaman jin tua itu. Tempat tinggal Ki Edan ada di tengah-tengah hutan. Hutan yang aneh dalam pandangannya sebagai manusia. Semua tumbuhan dan hewan yang ada di situ tak pernah dijumpainya di alam manusia. Semuanya dari jenis yang berbeda…
Pondok Ki Edan terbuat dari kayu dan menyatu dengan sebuah pohon besar yang dikelilingi oleh sepetak lapangan yang agak luas. Lapangan yang merupakan pekarangan rumah itu menjadi pemisah antara rumah dengan hutan lebat yang mengitarinya.
Ki Edan membawa Maya berkeliling meninjau rumahnya yang cukup besar dan pekarangan di sekelilingnya. Dijelaskannya satu per satu tugas yang akan menjadi kewajibannya sehari-hari.
Dengan penuh perhatian wanita itu menyimak setiap penjelasan dan instruksi dari tuan barunya. Dengan hati yang berdebar-debar ia menunggu-nunggu sesuatu dari penjelasan jin tua itu.
Sampai Ki Edan selesai menjelaskan, apa yang ditunggunya dengan harap-harap cemas ternyata tak juga keluar.
Jelas bahwa Ki Edan sama sekali tak berniat untuk ‘menyentuh’-nya. Padahal Maya tadinya mengira ia juga harus melayani jin itu di tempat tidur. Wajar saja jika ia mengira demikian. Saat ia diambil dari suaminya, Ki Edan telah melucutinya hingga bugil. Begitu pula saat memberikan penjelasan, Ki Edan telah menegaskan padanya bahwa ia tak diperkenankan mengenakan sehelai kain pun untuk menutupi tubuhnya selama berada di alam gaib itu. Suasana yang dibangun memang seolah mengarahkannya untuk menjadi seorang pelayan seks.
Nyatanya ia hanya harus melayani Ki Edan seperti seorang pembantu rumah tangga atau baby sitter. Ia tiap hari harus memasak makanan untuk Ki Edan, membersihkan rumahnya, mencuci pakaiannya, menyiapkan segala peralatan dan kebutuhan sehari-harinya… tapi tidak melayani nafsu birahinya…
Di usianya yang kedelapan belas saat masih di kampungnya, ia telah menikahi seorang wanita cantik bernama Maya. Wanita yang usianya selisih dua tahun lebih muda ini adalah tetangganya sendiri di kampung. Sama seperti Sapto, Maya pun berasal dari keluarga yang sangat sederhana.
Walaupun kehidupan yang menanti di Jakarta belum menentu, Sapto nekat mengajak istrinya untuk pergi ke kota harapan itu saat usia pernikahan mereka masih seumur jagung. Ia malu terus-menerus membebani kedua orang tuanya maupun mertuanya yang sama-sama kekurangan.
Pria ini beruntung mendapatkan pekerjaan pada seorang kontraktor kecil-kecilan di daerah pinggiran ibukota. Sapto mengenal majikannya dari sesama temannya di kampung yang kebetulan pernah bekerja pada beliau. Dengan kemampuan seadanya, ia belajar menjadi kuli bangunan. Pekerjaannya pun tak tentu, bergantung pada order yang diterima majikannya.
Dengan penghasilan yang seadanya, tentu saja kehidupan Sapto dan Maya di kota yang keras itu masih tetap prihatin.
Kesulitan ekonomi semakin terasa setelah Maya melahirkan anaknya yang pertama, tepat dua tahun setelah kepindahan mereka ke Jakarta. Sapto pun semakin pontang-panting menghidupi keluarganya yang telah bertambah anggotanya.
Sapto sebenarnya beruntung memiliki istri seperti Maya. Wanita itu sangat sabar dan mau sepenuhnya mengerti kesusahan yang mereka alami bersama. Ia tak pernah mengeluh dan menuntut macam-macam. Walau ia pun tak mampu berbuat banyak untuk membantu suaminya, tak hentinya ia memotivasi suaminya untuk bersabar dan tidak tergoda menempuh jalan yang tidak benar dalam mengatasi kemiskinan mereka.
Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Keadaan ternyata berkembang jadi semakin sulit setelah majikan tempat Sapto bekerja bangkrut. Otomatis Sapto pun kehilangan satu-satunya mata pencahariannya. Dengan kemampuan yang terbatas, jelas ia mengalami kesulitan untuk mendapatkan mata pencaharian yang baru.
Dalam keadaan putus asa, Sapto mengambil jalan pintas. Suatu hari ia nongkrong dengan sesama temannya yang juga menganggur. Saat ngobrol, temannya menceritakan tentang pesugihan yang diyakini dapat memberikan pelakunya kekayaan yang melimpah ruah. Dari sekedar iseng, Sapto jadi mulai tertarik dengan cerita itu. Diajaknya temannya untuk sama-sama menjalani pesugihan tersebut.
Walaupun tertarik juga, temannya menolak untuk melakukannya. Ia takut karena syaratnya sangat berat. Begitu pula konsekuensi yang harus ditanggung jika syaratnya tak terpenuhi. Belum lagi mengingat cara itu adalah jalan yang dikutuk oleh agama.
Sapto yang telah buntu pikirannya tetap berkeras untuk mencobanya. Temannya yang telah mencoba mengingatkannya tak mampu berbuat apa-apa. Setelah dipaksa Sapto, temannya lalu menceritakan bagaimana cara melakukan pesugihan itu, yang disebut pesugihan Ki Edan.
Pesugihan itu harus dilakukan dengan memuja jin bernama Ki Edan. Tempatnya adalah di sebuah gua terpencil di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Barat.
Dengan alasan mencari pekerjaan, Sapto pamit kepada istrinya untuk pergi ke luar kota selama beberapa hari. Dititipkannya anak dan istrinya kepada tetangganya.
Dengan berdebar-debar Sapto menemui juru kunci tempat itu untuk minta petunjuk dan bimbingan dalam menjalaninya. Sebelum melakukan itu, sama seperti yang telah dilakukan oleh temannya, si juru kunci mengingatkan Sapto akan semua konsekuensi yang harus diterimanya. Pria tua itu mengatakan bahwa Sapto masih dapat mundur saat itu seandainya ia masih ragu-ragu. Merasa kepalang tanggung, Sapto tetap menyanggupinya. Ia pun menjalani ritual yang disiapkan oleh si juru kunci untuk melakukan perjanjian dengan Ki Edan.
Ki Edan adalah sejenis jin tingkat tinggi yang memiliki kesaktian mandraguna. Usianya telah mencapai ribuan tahun. Berbagai macam manusia dari puluhan generasi sudah pernah ditemuinya. Ia hidup di tengah hutan Lawang bersama para pengikutnya. Pengikutnya berasal dari berbagai golongan jin dan hewan liar yang hidup di hutan itu. Ia tak akan membantu sembarang orang. Syarat yang ditetapkannya pun berat.
Saat melakukan ritual di dalam gua, Sapto pun berkesempatan untuk bertatap muka dengan jin itu.
Badan Ki Edan berwujud manusia tapi bagian paha ke bawah menyerupai kaki belakang seekor lembu. Tubuhnya yang jangkung tampak tegap didukung oleh badannya yang kekar dan berwarna gelap kemerahan. Wajahnya berbentuk segitiga dengan ujung dagu yang sangat lancip. Kedua matanya tajam dan berwarna merah. Sepasang tanduk besar menyerupai tanduk kerbau jantan menghiasi kepalanya yang gundul.
Sapto bergidik melihat penampakan jin tua yang mengerikan itu.
“Hai manusia, ceritakan apa yang kau mau,” suara jin tua itu terdengar menggema di dalam gua.
“A..a.. ku ingin mendapatkan kekayaan, Ki,” kata Sapto terbata-bata.
Mata Ki Edan yang tajam menatap dalam-dalam pada Sapto yang agak merinding.
“Kau tahu apa syaratnya?” tanya jin itu.
“Apa itu, Ki?” tanya Sapto gemetar. “Aku akan menyanggupinya…”
“Setiap purnama kau harus mempersembahkan mayat bayi yang baru saja dikuburkan…”
Sapto terdiam.
“Jika kau lalai…. Bukan hanya kekayaanmu yang akan kutarik kembali….” lanjut Ki Edan.
Sapto menanti lanjutan kata-kata jin tua itu dengan harap-harap cemas.
“…Melainkan juga orang yang sangat kausayangi akan kuambil….” Ki Edan menutup penjelasannya yang singkat.
“Baiklah, Ki…” jawab Sapto yang sudah gelap matanya menyanggupi.
Setelah perjanjian diikat, Sapto pun kembali ke Jakarta.
Aneh, tak lama kemudian Sapto pun mendapatkan rezeki. Ada orang yang menawarinya modal untuk membuka usaha. Sapto pun membuka warung dan bengkel. Usahanya ternyata maju sehingga dalam waktu singkat Sapto dapat mengembalikan modalnya dan memiliki sendiri seluruh usahanya. Kehidupan ekonomi mereka pun semakin membaik. Tentu saja Sapto tak pernah menceritakan peristiwa yang sebenarnya kepada Maya.
Sementara itu, setiap menjelang bulan purnama, Sapto memiliki kebiasaan baru. Ia akan mendatangi kuburan dan menggali makam bayi yang baru saja dikuburkan. Jasad bayi yang masih baru itu lalu dipersembahkannya kepada Ki Edan sebagai tumbal.
Bulan demi bulan pun berlalu. Semakin lama Sapto pun semakin merasa sulit untuk memenuhi janjinya. Bukan saja ia harus mencari mayat bayi ke daerah yang semakin jauh, penduduk pun mulai resah dan curiga dengan maraknya penggalian kuburan bayi yang baru meninggal. Akibatnya, Keamanan pun semakin diperketat. Ruang gerak Sapto pun semakin terbatas.
Sampai suatu ketika, Sapto akhirnya gagal memenuhi janjinya pada Ki Edan tepat pada malam bulan purnama yang ketujuh sejak perjanjiannya.
Saat itu sudah lewat tengah malam. Sapto merasa sangat gelisah karena tahu akan terjadi sesuatu. Maya yang saat itu sedang di sampingnya juga merasa curiga melihat gelagat suaminya yang dari tadi tampak menyembunyikan sesuatu. Wanita itu baru saja selesai menyusui anaknya yang sempat terbangun beberapa waktu yang lalu.
Tanpa ada tanda apa pun, Ki Edan tiba-tiba muncul diikuti oleh para pengikutnya. Walau sudah menduga hal itu, Sapto tetap saja merasa terkejut. Ia tak tahu harus mengatakan apa pada istrinya. Maya yang tak mengetahui pokok permasalahannya tentu saja tak kalah terkejutnya.
“Sapto, kau tahu apa yang telah kau lalaikan malam ini?” suara Ki Edan terdengar menggema di tengah malam yang hening.
Sapto hanya diam dengan tubuh gemetar dan tegang.
“Kalau kau tak mampu memenuhi janjimu dalam pesugihan ini, aku sudah mengatakannya dengan jelas apa yang harus kau bayar…”
“Aku akan mengambil nyawa anakmu sebagai tumbal…” kata jin tua itu mengingatkan.
“Atau akan mengambil istrimu untuk menjadi budakku di alam gaib sana… sebagai ganti atas semua kekayaan yang telah kuberikan padamu…”
Maya yang terkejut mendapati kenyataan itu tentu saja tak merelakan nyawa anak semata wayangnya diambil oleh Ki Edan.
“Mas Sapto…. Benarkah…?” tanya Maya seperti tak percaya sambil memandang ke arah suaminya. “Teganya kau… Jadi selama ini….?”
Ia tak mampu melanjutkan kata-katanya.
Sapto hanya menunduk. Ia tak berani membalas pandangan istrinya. Tubuhnya terasa gemetar.
“Baiklah, sekarang aku akan mengambil anakmu…” kata Ki Edan sambil melangkah mendekati ranjang tempat anak Sapto dan Maya sedang tidur.
Maya sangat terkejut mendapati kenyataan anaknya akan diambil secara paksa. Dihalanginya jin tua yang besar itu dalam langkahnya menuju ranjang. Naluri keibuannya untuk melindungi anaknya serta merta muncul.
“Aku tak rela nyawa anakku hilang demi melunasi hutangmu…” tegas wanita itu sambil memandang suaminya.
“Biar aku saja yang ikut dia untuk menebusnya…”
Sejenak setelah mengucapkan kata-kata itu, Maya sempat terkejut. Bagaimana bisa ia membuat keputusan seperti itu? Keputusan yang spontan dikeluarkannya untuk melindungi jiwa putri satu-satunya. Dalam hati ia sebetulnya sangat khawatir akan nasibnya jika mengikuti setan itu. Bagaimanapun, saat itu ia tak melihat cara lain sebagai jalan keluarnya.
“Baiklah, tak masalah bagiku,” kata Ki Edan sambil memeluk bahu Maya yang ada di dekatnya.
“Anakmu atau istrimu, salah satu saja…. Sudah cukup bagiku…” kata Ki Edan.
Sapto tak mampu berkata apa-apa. Mulutnya serasa terkunci.
Ki Edan lalu melucuti seluruh pakaian Maya. Maya sama sekali tak menolak… Maya tak tahu mengapa ia tak melawan saat direndahkan seperti itu…. Apakah ia berada di bawah pengaruh hipnotis?
Sapto hanya bisa memandangi peristiwa itu tanpa daya sama sekali. Begitu istrinya telah bugil, ia melihat Ki Edan mengeluarkan seuntai rantai yang besar lalu mengalungkannya ke leher wanita cantik itu…
Siluman sakti itu kemudian menyerahkan rantai itu kepada seekor kera jantan besar yang setia mengikutinya. Entah dari mana datangnya, segumpal asap yang tebal tiba-tiba muncul memenuhi ruangan. Ki Edan pun berjalan menembus asap itu. Diikuti oleh si kera besar yang menuntun istrinya… menghilang ditelan kegelapan….
Sapto hanya bisa memandang seluruh kejadian itu sambil menangis… Kedua kakinya benar-benar kaku tak bisa digerakkan. Sekujur badannya gemetar menahan perasaan takut, geram, dan tak berdaya yang bercampur aduk. Beban yang demikian beratnya membuatnya terjatuh. Perlahan-lahan asap pun menghilang tanpa bekas. Sama seperti istrinya yang raib dibawa Ki Edan… Pandangannya pun menjadi gelap. Ia pun pingsan tak sadarkan diri.
Maya memulai kehidupan barunya di alam jin. Setelah melalui asap tebal yang mengantarkannya meninggalkan alam manusia, sampailah ia di kediaman jin tua itu. Tempat tinggal Ki Edan ada di tengah-tengah hutan. Hutan yang aneh dalam pandangannya sebagai manusia. Semua tumbuhan dan hewan yang ada di situ tak pernah dijumpainya di alam manusia. Semuanya dari jenis yang berbeda…
Pondok Ki Edan terbuat dari kayu dan menyatu dengan sebuah pohon besar yang dikelilingi oleh sepetak lapangan yang agak luas. Lapangan yang merupakan pekarangan rumah itu menjadi pemisah antara rumah dengan hutan lebat yang mengitarinya.
Ki Edan membawa Maya berkeliling meninjau rumahnya yang cukup besar dan pekarangan di sekelilingnya. Dijelaskannya satu per satu tugas yang akan menjadi kewajibannya sehari-hari.
Dengan penuh perhatian wanita itu menyimak setiap penjelasan dan instruksi dari tuan barunya. Dengan hati yang berdebar-debar ia menunggu-nunggu sesuatu dari penjelasan jin tua itu.
Sampai Ki Edan selesai menjelaskan, apa yang ditunggunya dengan harap-harap cemas ternyata tak juga keluar.
Jelas bahwa Ki Edan sama sekali tak berniat untuk ‘menyentuh’-nya. Padahal Maya tadinya mengira ia juga harus melayani jin itu di tempat tidur. Wajar saja jika ia mengira demikian. Saat ia diambil dari suaminya, Ki Edan telah melucutinya hingga bugil. Begitu pula saat memberikan penjelasan, Ki Edan telah menegaskan padanya bahwa ia tak diperkenankan mengenakan sehelai kain pun untuk menutupi tubuhnya selama berada di alam gaib itu. Suasana yang dibangun memang seolah mengarahkannya untuk menjadi seorang pelayan seks.
Nyatanya ia hanya harus melayani Ki Edan seperti seorang pembantu rumah tangga atau baby sitter. Ia tiap hari harus memasak makanan untuk Ki Edan, membersihkan rumahnya, mencuci pakaiannya, menyiapkan segala peralatan dan kebutuhan sehari-harinya… tapi tidak melayani nafsu birahinya…
DOWNLOAD VIDEO BOKEP 3GP LEWAT HP KLIK DISINI
Artikel Terkait
booking hp.085774116461 jaktim 13260
ReplyDelete