Cerita Sex ABG: Telanjang Bulat Dibawah Bulan
Kami duduk rapat-rapat, terguncang ke sana kemari oleh olengan
bis. Aku menengok ke sebelahku. Janet mengerling ke arahku. Sesaat
pandangan kami tumbuk. Matanya menyipit, senyuman halus tergurat di
bibirnya. Tangannya menggapai. Jarinya terasa bergerak berkelana di
pahaku. Tangannya tiba-tiba kupegang erat-erat. Terasa kebahagiaan yang
luar biasa membahana dalam diriku.
Janet adalah betinaku. Memeknya hanya untuk diriku. Dan kontolku
adalah milik dia sepenuh-penuhnya. Setiap habis ngentot, setiap aku
habis menumpahkan bijiku di antara bibir garbanya, kontolku mesti
kutidurkan di bantalan telapak tangannya, kadang selagi masih
berdenyut-denyut lemah menghabiskan tenaga ejakulasinya. Dan Janet
selalu membelai kepala kontolku.
“Kasihan, kasihan..” demikian ia bergumam sambil mengecupnya lembut,
merasakan mani yang tersisa di kulitnya, menghirup baunya yang asin
menyengat.
Bis berpacu makin cepat ke arah selatan. Jalan semakin menciut,
lama-kelamaan tidak lagi beraspal. Kerikil pun lama-lama semakin jarang,
jalan menjadi lorong berdebu, dua lekukan dangkal yang memanjang
sejajar di tengah padang rumput. Dan akhirnya.. Laut! Bentangan biru
yang berkilat-kilat. Matahari telah condong ke barat menyulap permukaan
air menjadi sejuta titik pancaran cahaya.
Bis berhenti di bawah naungan nyiur di halaman sebuah losmen. Kami
turun. Sinoman rambut Janet terangkat-angkat diterpa angin laut. Ombak
berbisik di kejauhan, desisnya yang mesra menyapu wajah kami yang
tergelimang keringat. Hari sudah sore. Sejak siang tadi kami mengukir
perjalanan dari ujung utara ke ujung selatan pulau kecil ini. Sekarang
kelelahan menguasai raga kami.
Perlahan kami melangkah naik ke serambi. Di sebelah kanan ada sebuah
meja bundar dengan beberapa kursi. Di sebelah kiri kantoran kecil,
sebuah meja dengan buku tulis kumal di atasnya, sebuah lemari kaca,
sebuah kursi tua yang serat rotannya putus-putus. Seorang ibu setengah
baya, memakai daster dan sandal jepit, menyambut kedatangan kami dengan
tawa lega. Dengan ramah ia menjabat tangan kami.
“Ibu Gah”, demikian ia memperkenalkan diri dengan ramah.
Rupanya bulan Juni di losmen ini jarang ada tamu. Bangunannya sangat
sederhana. Hanya tembok bata persegi panjang tidak berplester. Tidak ada
langit-langit. Di kolong atap, balokan kayu bersilang menopang genteng.
Terlihat kilauan sinar matahari menyusup masuk di sana-sini melalui
celah-celah di genteng. Rongga bangunan tersekat menjadi dua deretan
kamar yang memanjang kanan-kiri.
Di tengah, sebuah lorong menembus lurus ke pintu belakang. Lantainya
semen tanpa tegel. Di ujung belakang ada ruang makan kecil, mejanya
hanya satu yang diberi papan kayu panjang kanan-kiri untuk tempat duduk.
Ke belakang lagi ada dua kamar mandi dan dua bilik WC. Di ujung lorong,
muka dan belakang, tidak ada daun pintu. Angin berhembus bebas dari
laut menghantar kesejukan lembut ke dalam losmen.
Malam itu kami makan di losmen: nasi dengan teri goreng dan selada
tomat segar yang gurih. Minumannya teh pahit. Habis makan aku mandi,
Janet pun mandi. Belum jam delapan kami sudah menuju ke kamar. Kamar
kami kecil, ranjangnya dua di kanan-kiri. Kelambu bergelantungan dari
ragangan kayu di atas kasur kapuk. Ada jendela yang melompong tidak
berkaca, daun kayunya tidak menyambung kanan-kiri dan tidak dapat
ditutup dengan rapat.
Cepat-cepat kami bersalin. Aku memakai sarung dan kaos oblong. Janet
memerosotkan celana dalamnya, kain batik dililitkan pada tubuhnya yang
sintal berlekuk-lekuk, buah dadanya menghilang di balik kancing blus
sutra yang biasa dipakainya kalau tidur. Sesaat kami berdiri berpelukan
di tengah kamar, bibirnya kukecup, kurasakan hangat tubuhnya, kuhirup
wangi rambutnya. Janet menyandarkan pipinya ke dadaku. Terasa zakarku
membengkak hendak bangun, tetapi perlahan kami berpisah.
Aku naik ke ranjang, Janet pun masuk di balik kelambu di ranjang
sebelah. Aku merapikan kelambuku. Dalam sekejap aku pun sudah pulas.
Kemrosak! Aku terlonjak duduk tegak, mataku cepat menjelajahi
keremangan. Terasa ada sesuatu. Ada suara krisik-krisik. Dekat.
Jantungku berdebar keras. Kakiku perlahan kuselonjorkan keluar kelambu.
Perlahan aku berdiri. Senyap. Lalu krisik lagi.. Di luar jendela. Aku
melangkah ke jendela, daun jendela kudorong perlahan, kriik terbuka. Aku
menjenguk keluar. Semak belukar di samping losmen bermandikan cahaya
bulan purnama yang redup.
Samar-samar kelihatan dua bayangan. Krisik! Ada nafas terengah-engah.
Krisik lagi! Aku memicingkan mata berusaha menembus kegelapan.
Tiba-tiba kelihatan. Ada dua ekor kuda Timor, jantan dan betina. Yang
jantan berdiri di belakang yang betina, kaki depannya terangkat
menunggang di atas punggung yang betina berjuntai kanan-kiri. Tampak
batang kelaminnya melongok di antara kaki belakangnya, berdenyut-denyut
didesakkannya ke liang silit di bawah dubur yang betina. Bless.. Masuk,
diiringi desahan nafas dari kedua binatang. Kaki mereka
terhentak-hentak, semak terinjak-injak berantakan, yang betina didekap
kencang oleh yang jantan, nafasnya semakin mendesah, sempoyongan
sebentar lalu tegak lagi, dan tiba-tiba si jantan meringkik dan
meringkik lagi dan meringkik lagi, keras. Terasa ada tangan halus
menyelinap ke bawah kaos oblongku, menggerayangi perutku.
“Kau pengin kaya gitu?” bisik Janet, merangkul aku dari belakang.
“Kau betinaku, tentu aku mau,” jawabku.
“Sebaliknya kamu, apa kamu mau disogok kayak gitu? Batangku gede lho, kaya kuda itu. Liangmu apa muat?”
“Terang ndak cukup, wong batangmu sak-kayu gelondong besarnya.”
“Kau betinaku, tentu aku mau,” jawabku.
“Sebaliknya kamu, apa kamu mau disogok kayak gitu? Batangku gede lho, kaya kuda itu. Liangmu apa muat?”
“Terang ndak cukup, wong batangmu sak-kayu gelondong besarnya.”
Aku tertawa lirih. Ukuran pirantiku biasa saja, tapi aku senang juga
kalau dikatakan gede. Aku membalik. Kepala Janet hanya sebatas daguku.
Kupeluk dia, lembut, ahh alangkah lembutnya pelukanku, alangkah
pasrahnya tubuh Janet menyandar di dadaku.
“Tadi kau tidur?” bisikku.
“Enak sekali, nyenyak.”
“Sekarang sudah segar?”
“Sudah.” Wajahnya menengadah, matanya berkilat-kilat.
“Ayo, kita jalan-jalan.”
“Lho, ke mana?”
“Keluar. Mumpung lagi terang bulan, aku kepengin merasakan suasana malam di tepi pantai.”
“Enak sekali, nyenyak.”
“Sekarang sudah segar?”
“Sudah.” Wajahnya menengadah, matanya berkilat-kilat.
“Ayo, kita jalan-jalan.”
“Lho, ke mana?”
“Keluar. Mumpung lagi terang bulan, aku kepengin merasakan suasana malam di tepi pantai.”
Diam-diam kami menyusup keluar kamar. Sunyi segalanya. Bak hantu,
tidak bersuara, kami melayang cepat ke pintu belakang, turun tangga,
lalu menapak jalan kecil yang turun landai ke tepi laut. Pasir
tergerit-gerit di bawah injakan kaki kami. Di pasiran, kami berdiri
bergandengan tangan memandang ke laut, menghirup kesejukan, menatap
kilauan terang bulan di ombak yang bergulung, rebah, maju menjilat
pergelangan kaki kami, lalu mendesis mundur kembali. Masih bergandengan
tangan, kami berjalan santai ke arah ujung pantai, menuruti liku-liku
busa dan rumput laut yang disisakan oleh ombak di pasir.
Berhadapan dengan laut tampak ada pohon besar menghamparkan bayangan
gelap di bawah dedaunannya yang rindang. Aku menuntun Janet masuk ke
bawah naungannya yang remang. Aku merangkul betinaku, kukecup kupingnya
yang melingkar kecil seperti kerang laut. Janet berlutut di hadapanku.
Tangannya merogoh ikatan sarungku, dibukanya. Sarungku merosot jatuh
menggeletak lemas di pasir. Batang kontolku tersingkap melongok, berdiri
tegak dan keras. Janet merangkul pahaku. Kepalanya didekatkan ke
alatku, rambutnya yang sepundak panjangnya terasa menyapu kontolku.
Aku menggigil kenikmatan, kontolku semakin membaja, menanti sentuhan
bibir Janet. Tetapi ia tidak segera mengulumku. Ia menjulurkan bibirnya,
lidahnya keluar-masuk menyogok kantong pelirku yang berbulu. Bibirnya
menempel di kulitnya yang keriput lalu menghisap. Bola pelirku ditarik
masuk ke mulutnya, bibir dan lidahnya memijit-mijitnya. Aku mengerang,
kedua tanganku menjambak rambut Janet. Kuremas ubun-ubunnya menahan
kenikmatan. Dilepaskannya kantong pelirku. Lidahnya melata naik,
menjilat batang kontolku sampai ke kepalanya. Berulang-ulang ia menjilat
dari pangkal sampai ke kepalanya. Lalu kontolku dikulumnya lembut,
dihisap. Kalung lekukan daging yang melingkar di pinggir kepalanya
dibelainya dengan lidahnya.
Tiba-tiba zakarku disedot, dan disedot lagi makin keras. Kepala Janet
bergerak maju mundur, pipinya berulang-ulang membenjol dan mengempis
sejalan dengan maju mundurnya batangku di dalam mulutnya. Terasa giginya
memarut lembut dan menggigit halus sepanjang batangku. Nafasku
mendesah. Aku menggapai ke bawah mengangkat Janet. Ia berdiri, aku pun
berlutut di hadapannya. Kainnya kusibak. Nampak kehitaman jembutnya yang
lebat dan lebar. Aku teramat suka bulu kebetinaannya yang ikal dan kaku
seperti kawat halus. Hidungku kudesakkan ke tengah bulunya, kuhirup
aromanya yang manis.
Kugenggam bulunya dengan bibirku, kutarik-tarik, kepalaku kugoyangkan
kanan-kiri. Kuraih kainnya, kusentak mendadak. Kainnya jatuh lepas dari
pinggangnya, kubuang ke pasir. Tanganku sebelah kuselipkan di antara
pahanya, kuangkat kakinya sebelah, kupanggulkan di atas bahuku. Betisnya
yang halus terjuntai menutupi belikatku. Silit Janet dengan mahkota
jembutnya sekarang berada tepat di depan mulutku. Dalam cahaya redup
kulihat itil klentitnya mengintip keluar di antara lipatan bibir
memeknya yang berkilau basah. Perlahan, sangat perlahan, kujilat
itilnya.
Terasa Janet melonjak kecil dan menarik nafasnya tajam. Dari
kerongkongannya keluarlah lenguh lirih yang panjang. Mukaku kudongakkan
ke atas. Pandangan mataku menyusuri kekusutan jembutnya dan lengkungan
perutnya. Dadanya sudah naik turun dengan cepat, pentil susunya tampak
membenjol di bawah sutra blusnya. Janet memandang ke arah laut, kelopak
matanya setengah terpejam, nafasnya mendesah terengah-engah. Ia
membungkuk di atas diriku.
“Terus,” bisiknya parau.
“Terus.. Terus.. Terus..” desahnya makin intens.
“Terus.. Terus.. Terus..” desahnya makin intens.
Lidahku kutancapkan ke liang memeknya, keluar-masuk, keluar-masuk.
Bibir memeknya kucepit lembut di antara lidahku dan bibirku, kutekan
silitnya kanan kiri, atas bawah, kusodok dengan hidung. Tanganku meremas
pinggulnya kanan-kiri, pinggulnya yang melengkung sintal teramat indah.
Lalu jariku melingkar ke belakang. Gundukan pantatnya kuremas-remas,
jariku menancap keras dalam keempukannya.
Aku duduk di pasir, kakiku kuselonjorkan lurus ke depan. Janet
berdiri menghadapiku, kakinya di kanan-kiri pahaku. Lalu perlahan-lahan
ia jongkok, selangkangannya menukik turun, memeknya terhenti sebentar di
atas kepala kontolku, lalu lancar dan cepat, menyambar dan menelan
keseluruhan batangku. Sesaat kami duduk lega, kepala kontolku tertancap
jauh di dalam. Lalu Janet mulai menggenjot. Naik turun, naik turun,
mula-mula perlahan, lama-lama semakin cepat. Nafas kami berdesah
seirama, otot pantatku kejang-kendor mendorong zakarku menancap ke atas.
Tangan Janet meraih kaosku, tak sabar diangkatnya, dilepaskan melalui
kepalaku. Dibuang. Jariku gemetar memetik kancing blus Janet, kugenggam
sutranya, kusibak keras, terdengar kain sutranya tersobek. Tidak sabar
kudorong blusnya, kusingsingkan lepas dari pundaknya. Susu Janet
meloncat keluar menunduk berisi, pentilnya besar kasar, gelap warnanya.
Kupepetkan susunya ke dadaku, ahh, ahh, terasa benjolan pentilnya
terplenet menekan bulu dadaku. Tanganku menggapai ke bawah mengambil
pasir segenggam. Kutaburkan di atas pundak Janet yang mulus. Pasir
kemricik mengalir di antara payudaranya, bercampur dengan tetesan
keringat yang bermunculan di kulitnya.
“Aduh!” Tiba-tiba Janet menghentikan genjotannya.
“Terus.. Terus!” bisikku.
“Ehh, nanti dulu,” cekikiknya.
“Ada pasir di memekku.”
“Ehh kasihan memekmu. Ayo, berdiri. Cuci dulu ah.”
“Terus.. Terus!” bisikku.
“Ehh, nanti dulu,” cekikiknya.
“Ada pasir di memekku.”
“Ehh kasihan memekmu. Ayo, berdiri. Cuci dulu ah.”
Kami bangkit. Kuraih tangan Janet. Kami melangkah berdampingan keluar
dari naungan pohon, berjalan ke tepi laut. Di batas jangkauan ombak
kami berdiri telanjang bulat, berkilau-kilau putih bermandikan cahaya
rembulan yang melayang terang di langit cerah penuh bintang. Kutuntun
Janet masuk ke laut. Air tidak dingin, tetapi ia meloncat kecil setiap
kali ada ombak menggerayang tubuhnya. Terasa air naik sampai ke perutku.
Janet berada di hadapanku, air sudah menutupi pundaknya, buah dadanya
terapung-apung.
Kuselipkan kedua telapak tanganku ke bawah bokongnya, dengan mudah
dapat kuangkat. Janet melilitkan tangannya di leherku, kakinya melingkar
di pinggangku, terasa tumitnya menekan pantatku kanan kiri. Untuk
sesaat aku tergoyah ombak yang lewat, lalu dengan kakiku tertancap di
dasar aku berdiri teguh. Di bawah permukaan air kontolku sudah mendongak
tegak ke atas. Tepat di atasnya, memek Janet sudah mangap ke bawah.
Perlahan keturunkan tubuh Janet. Silitnya menelan batangku sampai ke
pangkal. Penuh sayang dan kelembutan kami saling berciuman. Lama kami
terdiam terbuai ombak, saling merasakan indahnya bersatu-padu.
“Janet,” bisikku.
“Ya, jantanku sayang.”
“Aku sudah pengin keluar.”
“Aku iya ndak tahan.”
“Sama-sama yuk.”
“Mau aku. Mau sekali. Ayo, jangan ditahan.”
“Ya, jantanku sayang.”
“Aku sudah pengin keluar.”
“Aku iya ndak tahan.”
“Sama-sama yuk.”
“Mau aku. Mau sekali. Ayo, jangan ditahan.”
Terasa Janet mengencangkan pelukannya, nafasnya mendesah keras di
telingaku. Ia mengerang lirih, tubuhnya melengkung ke belakang.
Tiba-tiba tangannya sebelah menghantam air, kakinya mengejang di
belakangku, tumitnya mengetuk-ngetuk pangkal punggungku. Pada saat itu
juga zakarku mengejang, aku nyogok keras ke dalam keempukan liang Janet,
maniku pecah terpompa keluar mengisi rongga sanggamanya. Dunia nyata
memudar, mengabur dan menghilang terhanyut gelora kenikmatan yang
membanjiri segalanya. Seisi alam serasa berdenyut nikmat.
“Sst,” Janet mendesis di telingaku.
“Ada orang!”
“Mana?” Aku menggeragap berpaling.
“Situ. Di pasir. Tuh ada api rokok.”
“Waduh. Ada juga. Malah dua!”
“Gimana nih? Ngapain kita?”
“Diam dulu, sayang. Ndak apa-apa.”
“Kalau tahu ada pakaian kita di sana gimana?”
“Ada orang!”
“Mana?” Aku menggeragap berpaling.
“Situ. Di pasir. Tuh ada api rokok.”
“Waduh. Ada juga. Malah dua!”
“Gimana nih? Ngapain kita?”
“Diam dulu, sayang. Ndak apa-apa.”
“Kalau tahu ada pakaian kita di sana gimana?”
Sayup-sayup terdengar suara orang bercakap-cakap. Sesekali rokok
mereka membara merah. Ada yang ketawa, pendek, keras, kasar. Beberapa
menit lewat, lalu mereka berjalan menjauh. Gumam suara mereka tenggelam
dalam keremangan.
“Ayo, kita keluar” bisik Janet menggigil.
“Kedinginan aku.”
“Kedinginan aku.”
Aku membopong Janet keluar. Kami memungut pakaian kami yang
berserakan kacau di bawah pohon. Masih meneteskan air, cepat-cepat kami
berpakaian. Blus Janet menempel basah di punggung dan dadanya, menganga
di sebelah muka kehilangan kancingnya yang tersobek lepas.
“Sudah subuh.”
Aku menunjuk ke laut. Tampak lidah cahaya merah jambu sudah mulai
membakar garis cakrawala di sebelah timur. Buru-buru kami kembali ke
losmen. Ketika kami naik tangga pintu belakang, di ruang makan Ibu Gah
sudah duduk di meja mengiris sayur diterangi lampu teplok.
“Pagi Bu,” sapaku.
“Pagi Tante,” demikian Janet mengulang agak gugup.
“Hah? Dari mana nih?” Ibu Gah melongo heran.
“Ya jalan-jalan cari kerang di pantai, Bu,” jawabku sekenanya.
“Lha kok rambutnya basah, pakaiannya ya basah!?”
“Pagi Tante,” demikian Janet mengulang agak gugup.
“Hah? Dari mana nih?” Ibu Gah melongo heran.
“Ya jalan-jalan cari kerang di pantai, Bu,” jawabku sekenanya.
“Lha kok rambutnya basah, pakaiannya ya basah!?”
Janet menutupkan blusnya ke dadanya. Ibu Gah menatap sebentar. Senyum sayu perlahan muncul di wajahnya.
“Sana, tidur dulu,” katanya lirih.
“Mumpung belum siang.”
“Mumpung belum siang.”
Wajahnya terselimut bayangan, tetapi aku menangkap kesan seolah
matanya berkaca-kaca, seolah ia mendadak terlanda kenangan yang indah
dan sekaligus pahit. Di kamar, kami membuka pakaian kami yang basah.
Dengan tanganku kusapu butir-butir pasir yang masih menempel di buah
dada, punggung dan paha Janet. Kuseka rambutnya yang masih terurai kaku
kena air laut. Janet naik ke ranjangnya.
Aku menengok keluar jendela. Dalam cahaya pucat dini hari tampak dua
ekor kuda berdiri berdampingan, kepalanya tertunduk merumput dengan
tenangnya. Aku berpaling melangkah ke ranjang Janet. Aku merangkak masuk
ke bawah klambu. Kami berbaring berdampingan, telanjang bulat, tertutup
selimut batik. Perlahan dan lembut, Janet mengulurkan tangannya.
Kontolku diambilnya, dengan hati-hati dicomotnya kepalanya, dibelainya
sebentar dengan ibu jarinya dan ditidurkannya di atas telapak tangannya
yang menengadah.
“Kasihan.. Kasihan..” bisiknya. Dan kami pun tertidur.
DOWNLOAD VIDEO BOKEP 3GP LEWAT HP KLIK DISINI
Artikel Terkait
0 comments:
Post a Comment